Kebudayaan profinsi gorontalo

KEBUDAYAAN PROFINSI GORONTALO


Kebudayaan dan Tradisi Provinsi Gorontalo
HomeBudaya IndonesiaProvinsi Gorontalo

Kebudayaan dan Tradisi Provinsi Gorontalo


Kebudayaan dan Tradisi Provinsi Gorontalo

Gorontalo adalah sebuah Provinsi di Indonesia yang terbentuk pada tanggal 5 Desember 2000. Seiring dengan munculnya pemekaran wilayah yang berkenaan dengan Otonomi Daerah di Era Reformasi, provinsi ini kemudian dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000, tertanggal 22 Desember dan menjadi Provinsi ke-32 di Indonesia.
Ibukota Provinsi Gorontalo adalah Kota Gorontalo (sering disebut juga Kota Hulontalo) yang terkenal pula dengan julukan "Kota Serambi Madinah". Provinsi Gorontalo terletak pada Semenanjung Gorontalo (Gorontalo Peninsula) di Pulau Sulawesi, tepatnya di bagian barat dari Provinsi Sulawesi Utara. Luas wilayah provinsi ini 12.435,00 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 1.133.237 jiwa (2016), dengan tingkat kepadatan penduduk 88 jiwa/km².

Provinsi Gorontalo dihuni oleh ragam Etnis yang berbentuk Pohala'a (Keluarga), di antaranya Pohala'a Gorontalo (Etnis Hulontalo), Pohala'a Suwawa (Etnis Suwawa/Tuwawa), Pohala'a Limboto (Etnis Limutu), Pohala'a Bolango (Etnis Bulango/Bolango) dan Pohala'a Atinggola (Etnis Atinggola) yang seluruhnya dikategorikan kedalam suku Gorontalo atau Suku Hulontalo. Ditengarai, penyebaran Diaspora Orang Gorontalo telah mencapai 5 kali lipat dari total penduduknya sekarang yang tersebar di seluruh dunia.

1. Rumah Adat 

Gorontalo memiliki empat rumah adat yang menjadi ciri khas provinsi Gorontalo, yaitu rumah adat Dulohupa yang berada di kota Gorontalo, rumah adat Bandayo Poboide yang berada di Limboto, rumah adat Ma’lihe atau Potiwaluya dan yang terakhir rumah adat Gobel yang berada di Bone Bolango.

1. Rumah Adat Dulohupa
Rumah adat Dulohupa ini letaknya di Kelurahan Limba, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo. Rumah Dulohupa juga disebut Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo oleh penduduk Gorontalo. Rumah adat ini berbentuk rumah panggung yang badannya terbuat dari papan dan struktur atap bernuansa daerah Gorontalo. Selain itu rumah adat Dulohupa juga dilengkapi pilar-pilar kayu sebagai hiasan serta lambang dari rumah adat Gorontalo dan memiliki dua tangga yang berada di bagian kiri dan kanan rumah adat yang menjadi symbol tangga adat atau disebut tolitihu.

Rumah adat Dulohupa dibangun berupa rumah panggung. Hal ini dilakukan sebagai penggambaran dari badan manusia yaitu atap menggambarkan kepala, badan rumah menggambarkan badan, dan  pilar penyangga rumah menggambarkan kaki. Selain itu bentuk rumah panggung juga dipilih untuk menghindari terjadinya banjir yang kala itu sering terjadi. 

Rumah adat Dulohupa di Gorontalo dibangun berlandaskan prinsip-prinsip dan kepercayaan. Bagian atap rumah adat Dulohupa terbuat dari jerami terbaik dan berbentuk seperti pelana yaitu atap segitiga bersusun dua yang menggambarkan syariat dan adat penduduk Gorontalo. Atap bagian atas menggambarkan kepercayaan penduduk Gorontalo terhadap Tuhan yang Maha Esa dan agama merupakan kepentingan utama di atas yang lainnya. Sedangkan atap bagian bawah menggambarkan kepercayaan penduduk Gorontalo terhadap adat istiadat serta budaya. Pada bagian puncak atap dahulu terdapat dua batang kayu yang dipasang bersilang pada puncak atap atau disebut Talapua.  Penduduk Gorontalo percaya bahwa Talapua dapat menangkal roh – roh jahat, namun seiring perkembangan kepercayaan islami, sekarang Talapua sudah tidak di pasang lagi.

Pada bagian dinding depan terdapat Tange lo bu’ulu yang tergantung di samping pintu masuk rumah adat Dulohupa. Tange lo bu’ulu ini menggambarkan kesejahteraan penduduk gorontalo. Sedangkan bagian dalam rumah adat Dulohupa bergaya terbuka karena tidak banyak terdapat sekat. Selain itu di dalam rumah adat terdapat anjungan yang dikhususkan sebagai tempat peristirahatan raja dan keluarga kerajaan.

Rumah adat Dulohupa memiliki banyak pilar-pilar kayu. Selain sebagai penyokong karena bentuknya berupa rumah panggung, pilar-pilar tersebut juga memiliki makna tersendiri. Pada rumah adat Dulohupa terdapat beberapa jenis pilar yaitu, pilar utama atau wolihi berjumlah 2 buah, pilar depan berjumlah 6 buah, dan pilar dasar atau potu berjumlah 32 buah.

Pilar utama atau wolihi menempel di atas tanah langsung ke rangka atap. Pilar ini merupakan simbol ikrar persatuan dan kesatuan yang kekal abadi antara dua bersaudara 14 Gorontalo-Limboto (janji lou dulowo mohutato-Hulontalo-Limutu) pada tahun 1664. Selain itu angka 2 menggambarkan delito (pola) adat dan syariat sebagai prinsip hidup penduduk Gorontalo dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti pilar utama, pilar depan juga menempel di atas tanah langsung ke rangka atap. Pilar ini menggambarkan 6 sifat utama atau ciri penduduk lou dulowo limo lopahalaa yaitu sifat tinepo atau tenggang rasa, sifat tombulao atau hormat, sifat tombulu atau bakti kepada penguasa, sifat wuudu atau sesuai kewajaran, sifat adati atau patuh kepada peraturan, sifat butoo atau taat pada keputusan hakim. Sedangkan jumlah pilar dasar atau potu menggambarkan 32 penjuru mata angin. Pada masanya pilar ini dikhususkan untuk golongan raja dan bangsawan. Bentuk pilar pada bagian depan/serambi berbentuk persegi berjumlah 4, 6 atau 8. Hal ini menggambarkan banyaknya budak yang dimiliki oleh raja. Namun seiring perjalanan waktu jumlah pilar ini tetap digunakan walaupun bukan pada rumah bangsawan dan tidak lagi menggambarkan makna tertentu.

Selain pilar, jumlah anak tangga pada rumah adat Dulohupa juga memiliki makna tersendiri. Jumlah anak tangga terdiri dari 5 – 7 anak tangga. Angka 5 menggambarkan rukun islam dan 5 filosofi hidup penduduk Gorontalo, yaitu Bangusa talalo atau menjaga keturunan, Lipu poduluwalo atau mengabadikan diri untuk membela negeri, dan Batanga pomaya, Upango potombulu, Nyawa podungalo yang berarti mempertaruhkan nyawa untuk mewakafkan dan mengorbankan harta. Sedangkan angka 7 menggambarkan 7 tingkatan nafsu pada manusia yaitu amarah, lauwamah, mulhimah, muthmainnah, rathiah, mardhiah, dan kamilan.
Dulohupa merupakan bahasa daerah Gorontalo yang berarti mufakat atau kesepakatan. Dahulu, rumah adat ini digunakan sebagai tempat bermusyawarah keluarga kerajaan dan sebagai ruang sidang kerajaan bagi pengkhianat negara melalui sidang tiga tahap pemerintahan yaitu Buwatulo Bala (Tahap keamanan), Buwatulo Syara (tahap hukum agama Islam) dan Bawatulo Adati (Tahap hukum adat) dan merencanakan kegiatan pembangunan daerah serta menyelesaikan permasalahan penduduk setempat. Namun saat ini, rumah adat Dulohupa digunakan untuk pagelaran upacara adat, seperti upacara adat pernikahan dan pagelaran budaya dan seni di Gorontalo. Di dalam rumah adat ini terdapat perlengkapan untuk upacara perkawinan, pelaminan dan benda-benda berharga lainnya. Di dalam rumah adat Dulohupa penduduk adat Gorontalo perkawinan berupa pelaminan, busana adat pengantin, dan perhiasan lainnya.
2. Rumah Adat Bandayo Poboide
Rumah adat Bandayo Poboide berada di depan rumah dinas Bupati Gorontalo. Rumah adat Poboide berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu berkualitas tinggi hingga mampu bertahan hingga saat ini. Desainnya tidak begitu berbeda dengan rumah adat Dulohupa, perbedaannya terletak pada bagian dalam rumah, dimana rumah adat Bandayo Poboide memiliki banyak sekat.

Kata Bandayo memiliki arti gedung atau bangunan sedangkan kata Poboide atau Po Boide memiliki arti tempat untuk bermusyawarah. Sehingga sama seperti fungsi dari rumah adat Doluhapa, rumah adat Bandayo Poboide juga digunakan sebagai tempat untuk bermusyawarah, hanya letaknya yang berbeda. Dahulu rumah adat Bandayo Poboide juga digunakan sebagai istana raja sebagai pusat pemerintahan dan tempat berkumpulnya para tetua adat dalam membicarakan prosesi adat dan juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan pagelaran budaya khas Gorontalo. Namun sekarang ini rumah adat Bandayo Poboide menjadi tempat melestarian dan mengembangkan seni dan budaya daerah Gorontalo.
3. Rumah Adat Ma’lihe atau Rumah Adat Potiwoluya
Rumah Adat Ma’lihe atau Rumah Adat Potiwoluya merupakan rumah adat yang digunakan sebagai tempat tinggal penduduk Gorontalo. Dalam bahasa Gorontalo Ma’lihe berarti mahligai. Rumah Adat Ma’lihe ini berupa rumah panggung yang membentuk bujur sangkar atau persegi empat yang ditopang oleh pilar dengan tinggi pilar satu sampai empat meter. Atap rumah adat Ma’lihe ini juga berbentuk persegi panjang, tampak depan atap (watopo) membentuk segitiga dan tampak samping atap membentuk jajar genjang. Bahan atap menggunakan daun rumbia  dan bahan dinding rumah menggunakan bambu yang dibelah dan dianyam. Bangunan ini memiliki kamar tidur, ruang tamu, dapur dan serambi dan setiap kamar dilengkapi jendela.

Pembangunan tempat tinggal penduduk Gorontalo ini juga dibangun melalui prinsip hidup penduduk Gorontalo. Pengukuran ketinggian, panjang dan lebar rumah dilakukan dengan aturan tertentu yaitu, aturan 1 depa dikurangi 1 jengkal hasil pengurangan dibagi 8. Angka 8 digunakan karena menggambarkan keadaan yang selalu terjadi pada diri manusia, yaitu rahmat, celaka, untung, rugi, kelahiran, kematian, umur dan hangus.

Ruangan bagian dalam bangunan berbentuk segiempat yang menggambarkan empat kekuatan alam yakni air, api, angin, dan tanah. Saat baru dibangun rumah hanya boleh memiliki 3 kamar terlebih dahulu, setelah ditinggali baru boleh dibangun kamar tambahan. Hal ini menggambarkan kepercayaan penduduk gorontalo tentang 3 tahapan keadaban manusia yakni bermula dari tidak ada, ada dan berakhir dengan tiada (alam rahim, alam dunia, dan alam akhirat). 

Pembagian kamar tidur pun memiliki aturan tertentu dimana kamar anak laki-laki dibangun di bagian depan dan kamar anak perempuan di bagian belakang. Selain itu terdapat pula aturan penerimaan tamu ke dalam ruang tamu. Tamu pria hanya boleh diterima di serambi atau teras sedangkan tamu wanita harus masuk ke dalam ruang tamu. Hal ini sesuai dengan syariat islam yang dipegang oleh para penduduk Gorontalo untuk menghindarkan bertemunya pria dan wanita yang bukan mahramnya.

Penduduk Gorontalo memiliki kepercayaan mengenai posisi kamar berjejer kebelakang atau posisi bersilang dengan posisi kamar tidur utama berada pada sisi kanan pintu masuk rumah, yaitu bila pemilik rumah pergi dari rumah, ia akan tetap ingat untuk pulang. Selain itu arah kamar dibuat sesuai arah aliran sungai, hal ini dipercaya bisa mendapatkan rejeki yang terus mengalir seperti derasnya aliran air sungai.

Posisi dapur dan bangunan utama dipisahkan oleh sebuah jembatan. Pemisahan ini dilakukan karena dapur merupakan rahasia pemilik rumah, sehingga setiap tamu yang berkunjung tidak boleh melewati jembatan tersebut. Selain itu posisi dapur tidak boleh mengarah ke arah kiblat, karena penduduk jaman dahulu percaya rumah akan menjadi mudah terbakar. 

4. Rumah Adat Gobel
Rumah adat Gobel adalah salah satu rumah adat yang berlokasi di Kecamatan Tapa Kabupaten Bone Bolango. Akan tetapi tidak banyak sumber yang membahas mengenai rumah adat ini. Dahulu rumah adat Gobel merupakan rumah keluarga kerajaan Raja Gobel namun saat ini rumah adat Gobel sering digunakan untuk acara – acara resmi pemerintah setempat, seperti foto berikut ini yang memperlihatkan bagian dalam rumah adat Gobel saat digunakan untuk acara Musyawarah Besar Rakyat Bolango II. 
2. Pakaian Adat Gorontalo
Mukuta dan Biliu adalah sepasang pakaian adat Gorontalo yang umumnya hanya dikenakan pada saat upacara perkawinan. Mukuta dikenakan oleh mempelai pria dan Biliu dikenakan oleh mempelai wanita. Mukuta dan Biliu sendiri disusun atas kain berwarna kuning keemasan persis seperti ditampilkan pada gambar di atas, selain pula ada yang ber warna ungu dan hijau. Penggunaan pakaian tersebut akan dilengkapi dengan beragam pernik dan aksesoris seperti penutup kepala, ikat pinggang, terompah, dan lain sebagainya dengan sebutan khusus.
1. Perlengkapan Pakaian Biliu untuk Mempelai Wanita 
Mempelai wanita, selain menggunakan baju kurung dan bawahan kuning juga mengenakan beberapa aksesoris sebagai pelengkap pakaian adat Gorontalo yang dikenakan. Aksesoris tersebut antara lain:
.
  1. Baya Lo Boute adalah ikat kepala khusus untuk rambut mempelai wanita. Ikat kepala tersebut digambarkan sebagai simbol bahwa mempelai wanita sebentar lagi akan diikat dengan hak dan kewajibannya sebagai seorang istri. 
  2. Tuhi-tuhi adalah gafah berjumlah 7 yang menjadi simbol adanya 7 kerajaan besar yang saling bersahabat dalam suku Gorontalo. Ketujuh kerajaan tersebut antara Gorontalo dan Limboto, Hulontalo,Tuwawa, Bulonga, Limutu, dan Atingola.
  3. Lai-lai adalah bulu burung atau unggas yang berwarna putih. Bulu ini diletakan tepat di atas ubun-ubun sebagai perlambang kesucian, budi luhur dan keberanian. 
  4. Buohu Wulu Wawu Dehu adalah kalung keemasan yang dilingkarkan di leher. Untaian kalung melambangkan ikatan kekeluargaan yang terjalin antara keluarga mempelai pria dan wanita. Kecubu atau sering juga disebut lotidu adalah kain dengan hiasan pernik tertentu yang dilekatkan di dada mempelai wanita. 
  5. Kecubu menjadi perlambang bahwa mempelai wanita harus kuat dalam menghadapi rintangan berumah tangga. 
  6. Etango adalah ikat pinggang dengan motif yang sama seperti kecubu. Ikat pinggang ini menjadi lambang bahwa sebagai istri, mempelai wanita harus memiliki sikap kesederhanaan, meninggalkan makanan haram, dan hanya memasak makanan-makanan yang halal untuk keluarganya kelak.
  7. Pateda adalah gelang keemasan yang berukuran cukup lebar. Gelang ini memiliki makna bahwa sebagai istri, wanita harus dapat mengekang dirinya agar tidak melakukan tindakan-tindakan tercela baik sesuai hukum agama, hukum negara, maupun hukum adat. 
  8. Luobu adalah hiasan kuku keemasan yang dikenakan hanya pada jari kelingking dan jari manis dari kedua belah tangan kiri dan kanan. Luobu ini menggambarkan wanita harus memiliki ketelitian dalam mengerjakan segala sesuatu.


2. Perlengkapan Pakaian Mukuta untuk Mempelai Pria 
Dibandingkan mempelai wanita, perlengkapan pakaian adat Gorontalo untuk pria cenderung lebih sedikit. Beberapa aksesoris tersebut antara lain:
  1. Tudung makuta adalah hiasan tutup kepala yang berbentuk unik menyerupai bulu unggas, menjulang tinggi ke atas kemudian terkulai ke belakang. Tudung yang juga disebut dengan nama laapia-bantali-sibii ini memiliki nilai filosofi bahwa laki-laki atau sebagai seorang suami, mempelai pria harus memiliki kedudukan yang tinggi selaku pemimpin tapi tetap harus bersikap lemah lembut seperti halnya bulu unggas.  
  2. Bako adalah kalung yang sama seperti yang dikenakan mempelai wanita. Kalung inipun memiliki makna filosofi terhadap ikatan kekeluargaan antara keluarga kedua keluarga mempelai. 
  3. Pasimeni adalah hiasan baju yang menjadi simbol keluarga harmonis dan damai.


Selain pakaian Biliu dan Mukuta, Gorontalo juga memiliki pakaian adat lainnya untuk keperluan upacara adat tertentu. Pakaian adat Gorontalo tersebut dari bentuknya bisa dibilang hampir mirip dengan pakaian pengantin tapi tanpa aksesoris khusus. Adapun yang membedakan adalah dari warnanya. Pakaian tersebut ada yang berwarna merah, kuning emas, ungu, dan hijau. Masing-masing warna memiliki nilai filosofinya.

  • Warna merah menyimbolkan rasa keberanian dan tanggung jawab,  
  • Warna hijau menyimbolkan kesejahteraan,kesuburan, dan kedamaian,  
  • Warna kuning emas menyimbolkan kesetiaan dan kejujuran, dan  
  • Warna ungu menyimbolkan kewibawaan.

3. Tari Tradisional Gorontalo
1. Tari Dana - Dana
Tari dana-dana adalah tarian tradisi yang berasal dari Provinsi Gorontalo. Penamaan tari Dana-dana ini berasal dari bahasa daerah yaitu daya-dayango yang berarti menggerakkan seluruh anggota tubuh sambil berjalan. Tari dana-dana merupakan tari pergaulan remaja gorontalo. Tarian ini dilakukan oleh 2 sampai 4 orang laki-laki. Tarian ini dimainkan dengan gerakan-gerakan yang dinamis dan lincah. Dalam tarian ini seluruh anggota badan harus bergerak sesuai dengan irama musik. Tarian ini diiringi oleh alat musik gambus dan rebana serta lagu berisi pantun yang bertema percintaan atau nasehat-nasehat yang bertemakan kehidupan remaja. Tarian dana-dana memang menggambarkan sosok remaja yang energik dengan gairah hidup yang besar, kehidupan dunia remaja dan keakraban pergaulan remaja.

Tarian dana-dana dari Gorontalo ini mulai dikenal seiring dengan masuknya pengaruh agama Islam ke Gorontalo. Pada tahun 1525 M, Tari Dana-Dana turut serta menyebarkan dakwah Islam di Gorontalo. Tarian ini dipentaskan pada saat pesta pernikahan Sultan Amay dan Putri Owotango. Tarian ini sebenarnya dibawakan secara berpasang-pasangan antara remaja laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, ketatnya ajaran Islam pada saat itu tidak mengijinkan laki-laki bisa dengan mudah menyentuh perempuan yang bukan muhrimnya sehingga tari dana-dana hanya dibawakan oleh kaum laki-laki saja.

Tari Dana-Dana terbagi menjadi dua fungsi yaitu tari penyambutan dan tari perayaaan. Tari penyambutan biasa ditampilkan pada saat penyambutan tamu sedangkan tari perayaan sendiri ditampilkan pada saat perayaan-perayaan hari besar atau perayaan adat. Tari dana-dana juga memiliki daya pikat tersendiri di bidang pariwisata. Tarian ini juga seringkali dipentaskan dalam rangkaian acara promosi pariwisata provinsi Gorontalo.
Tarian Dana-Dana  ini terus berkembang seiring dengan perkembangan sosial yang ada. Kehidupan remaja masa kini sudah mengalami perubahan yang siginfikan. Oleh karena itu, tarian dana-dana yang notabene adalah tarian untuk para remaja juga terus mengalami modifikasi. Hal ini dimaksudkan agar tarian ini masih dapat diterima oleh remaja di masa kini. Saat ini tarian dana-dana telah mengalami beberapa modifikasi seperti misalnya dikolaborasikan dengan tari cha-cha. Tari dana-dana klasik adalah tarian yang masih mempertahankan keaslian gerakan, irama musik dan aspek lainnya sedangkan tari dana-dana modern adalah tarian yang sudah mengalami modifikasi atau pembaruan baik dari gerakan, musik dan aspek lainnya. Inilah yang membuat tari dana-dana terbagi ke dalam dua jenis yaitu tari dana-dana klasik dan tari dana-dana modern. Akan tetapi, modifikasi yang dilakukan pada tarian ini tetap tidak bertentangan dengan nilai moral dan nilai filosofis dari tarian ini.
2. Tari Polopalo
Tari Polopalo merupakan tari pergaulan yang berasal dari Provinsi Gorontalo. Polopalo sendiri merupakan sebuah alat musik tradisional yang berasal dari Gorontalo. Alat musik tradisional Polopalo merupakan alat musik jenis idiofon atau golongan alat musik yang sumber bunyinya diproleh dari badannya sendiri (M. Soeharto 1992 : 54), Dalam artian bahwa ketika Polopalo tersebut di pukul atau sebaliknya memperoleh pukulan, bunyinya akan dihasilkan dari proses bergetarnya seluruh tubuh Polopalo tersebut.
Adapun tarian Polopalu memang menggunakan properti yang berupa alat musik polopalo tersebut. Tari Tradisional dari Gorontalo ini, pada akhirnya mengalami banyak perkembangan, sehingga pada saat ini Tari Polopalo terbagi menjadi dua, yaitu tari polopalo tradisional dan tari polo palo modern. Kedua tarian polo palo tradisional dan modern memiliki beberapa perbedaan, antara lain jumlah penarinya. Tari polo -" palo tradisional biasanya dimainkan oleh penari tunggal yang diringi oleh musik yang dimainkan sendiri atau solo. Selain itu tari polo - palo modern lebih sering ditampilkan secara berkelompok dengan iringan musik yang sudah diaransemen.
Pada tari polo - palo tradisional pemukul tidak hanya dimainkan dengan cara memukulkannya pada alat musik tetapi juga pada bagian anggota penari khususnya lutut dengan irama yang beraturan. Sedangkan pada tari polo - palo modern, pemukul hanya dipukulkan pada alat musiknya, tidak pada bagian tubuh.
3. Tari Saronde
Tari Saronde adalah tarian tradisional dari Provinsi Gorontalo. Tari Saronde ini adalah merupakan salah satu tarian tradisional masyarakat Gorontalo yang diangkat dari tradisi masyarakat Gorontalo saat malam pertunangan dalam rangkaian upacara perkawinan adat. Pada awalnya, tari saronde dilakukan oleh pengantin, demikian juga dengan orang yang diminta untuk menari ketika dikalungkan selendang oleh pengantin dan para penari dengan iringan musik rebana dan nyanyian vokal, diawali dengan tempo lambat yang semakin lama semakin cepat
Dalam perkembangannya tari Saronde ditampilkan oleh para penari pria dan penari wanita yang menari dengan gerakan yang khas dan menggunakan seledang sebagai atribut menarinya. Akan tetapi selain menjadi bagian dari acara pernikahan adat, Tari Saronde juga sering ditampilkan dalam acara seperti penyambutan, pertunjukan seni, dan festival budaya.
Untuk gerakan dalam Tari Saronde biasanya lebih didominasi oleh gerakan mengayunkan kaki dan tangan ke depan secara bergantian. Penari juga sering memainkan selendangnya dengan berputar-putar. Selain dilakukan secara berpasangan, formasi penari pun sering berubah-ubah sehingga menggambarkan keceriaan dan kebahagian dari para penari.
Tari Saronde biasanya diiringi oleh iringan musik rebana dan nyanyian vokal. Lagu yang dinyanyikan untuk mengiringi tarian ini biasanya merupakan lagu khusus Tari Saronde. sedangkan tempo yang dimainkan dalam mengiringi tarian ini biasanya disesuaikan dengan lagu dan gerakan para penari.
4. Senjata Tradisional

Wamilo - Senjata tradisional ini berbentuk seperti golok. Namun, bagian ujung hulunya sedikit melengkung ke bawah. Senjata tradisional lainnya adalah badik, Bitu'o (sejenis Keris), Sabele (sejenis Parang atau Lilang) dan Travalla.

5. Bahasa Daerah: 
Orang Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo, yang terbagi atas tiga dialek, dialek Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Saat ini yang paling dominan adalah dialek Gorontalo.Penarikan garis keturunan yang berlaku di masyarakat Gorontalo adalah bilateral, garis ayah dan ibu. Seorang anak tidak boleh bergurau dengan ayahnya melainkan harus berlaku taat dan sopan. Sifat hubungan tersebut berlaku juga terhadap saudara laki-laki ayah dan ibu.
Menurut masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya ‘pengembara yang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila. Dia menikah dengan pendatang yang singgah dengan perahu ke tempat itu. Mereka inilah yang kemudian menurunkan orang Gorontalo. Sebutan Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo dan akhirnya menjadi Gorontalo.
6. Ragam Tradisi
Lima budaya dari suku Gorontalo dikukuhkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2017.
Kelima budaya ini adalah Tahuli, Binte Biluhuta, Lohidu, Langga, dan Dayango/Wumbungo.

  1. Tahuli dan Lohidu merupakan ragam tradisi lisan masyarakat Gorontalo yang masih terjaga hingga kini.
  2. Binte Biluhuta merupakan makanan khas Gorontalo berupa sup jagung muda dicampur dengan aneka rupa rempah-rempah.
  3. Langga masuk dalam penetapan warisan budaya tak benda karena seni bela diri ini memiliki keunikan tersendiri.
  4. Bela diri ini mengandalkan teknik bertahan sehingga sifatnya defensif. Namun, saat mendapat serangan, kekuatan ofensifnya dapat mematikan bagi penyerangnya.
  5. Adapun Dayango merupakan agama masyarakat Gorontalo pra-Islam. Hingga kini, ritual tersebut masih dijalani oleh sebagian masyarakat di pinggiran.
kelima budaya tak benda dari Gorontalo ini melengkapi budaya lain yang sudah lebih dulu ditetapkan. Budaya tersebut adalah Tari Molapi Saronde, Tanggomo, Polopalo, Karawo, dan Tumbilotohe.


7. Upacara Adat
Paduan nuansa adat dan agama dalam kehidupan masyarakat Gorontal, merupakan profil sebuah masyarakat yang sangat kental dalam mengapresiasi terhadap tradisi budaya dan keyakinan agamanya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam upacara adat yang selalu didahului dengan ayat-ayat dalam Alquran, seperti :
  1. upacara hamil tujuh bulan (Molunthalo), 
  2. upacara penguburan plasenta (molobunga Yiliyala), 
  3. Upacara Akil baligh (Mome’ati), 
  4. upacara kematian (Baya lo bulilo), 
  5. upacara gunting rambut (Mohutingo), 
  6. upacara khitan (Mongubingo), 
  7. upacara syukuran (dua da’a) dan Mulid Nabi. 
Selain itu mereka masih terpengaruh oleh kepercayaan leluhurnya yang berasal dari nenek moyang. Hal ini tampak terlihat dari upacara yang dilakukan diantaranya :
  1. upacara menjauhkan hama dari tanaman (Momoala), 
  2. upacara membuka hutan (Momuo Oayuwa), 
  3. upacara minta hujan (Mohile Didi), dan 
  4. upacara menolak wabah penyakit (Molemboo).

Anda baru saja membaca artikel dengan judul Kebudayaan dan Tradisi Provinsi Gorontalo, Semoga bermanfaat. Terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kebudayaan maluku utara

senjata tradisional jawa tengah

Pesona Budaya Kalimantan Selatan